Anak Asuh dan Anak Angkat

MediaMuslim.InfoAnak dalam keluarga adalah buah hati belahan jiwa.Untuk anak orangtua bekerja memeras keringat membanting tulang. Anak merupakan harapan utama bagi sebuah mahligai perkawinan. Keberadaan anak adalah wujud keberlangsungan sebuah keluarga, keturunan dan bangsa setelah agama. Namun, anak adalah karunia Alloh Subhaanahu Wa Ta’ala.

Tidak semua mahligai perkawian dianugrahi keturunan, generasi penerus, hingga suami-istri tutup usia. Usia perkawinan yang masih relatif muda yang belum dikaruniai anak belum tentu tak akan mendapatkan keturunan. AllohSubhaanahu Wa Ta’ala mengaruniai anak kepada Nabi Ibrahim yaitu Ismà’il dan Ishàq pada usia senja, yang pertama di usia 99 tahun, yang terakhir 112 tahun. Itu terjadi tatkala usia senja dan harapan untuk mendapatkan keturunan sampai pada titik putus. (Muhammad Asy Syaukàni, Fathul Qad?r, 3/140). Alloh Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman melalui lisan Nabi Ibrahim, yang artinya: “Segala puji bagi Alloh yang telah menganugrahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Rabbku, benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) do’a” (QS: ‘Ibràhim: 39)

Tabanniy
Tabanniy (adopsi) adalah pengangkatan anak orang lain sebagai anak sendiri. Di jaman Jahiliyah seorang mengangkat seseorang anak lelaki sebagai anaknya dengan mendapatkan hak seperti anak kandungnya. Dipanggil dengan memakai nama ayah angkatnya dan mendapatkan warisan. Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengangkat Zaid bin Hàritsah bin Syaràh?l sebagai anaknya sebelum risalah kenabian. Para Sahabat memanggil Zaid dengan panggilan Zaid bin (anak) Muhammad hingga turun ayat: “Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka”. (HR: Al Bukhàri).

Islam mengharamkan tabanniy (adopsi) yang diaku sebagai anak kandung, dan Islam menggugurkan segala hak yang biasa didapatkan anak angkat dari mutabanniy (orang yang mengadopsi anak).




Alloh Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Dia (Alloh) tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandung-mu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataan di mulutmu saja. Dan Alloh mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukan jalan (yang benar).” (QS: Al ‘Ahzàb: 4)

Seseorang diharamkan menasabkan anak angkatnya pada dirinya. Islam menyuruh untuk menasabkannya kepada bapak kandungnya seandainya diketahui. Jika tidak, panggillah mereka ‘akh fid din (saudara seagama) atau maulà (seseorang yang telah dijadikan anak angkat). Seperti Salim anak angkat Hudzaifah, dipanggil maula ‘Abi Hudzaifah. Alloh Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisiAlloh, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka) sebagai saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (berdosa) apa yang disengaka oleh hatimu”. (QS: Al Ahzàb: 5)

Islam juga melarang tawàruts (saling mewarisi) antara anak dan ayah angkat. Ketika Alloh Subhaanahu Wa Ta’ala me-naskh hukum legalisasi anak angkat maka Alloh Subhaanahu Wa Ta’ala membolehkan untuk menikahi istri anak angkat atau sebaliknya. Alloh Subhaanahu Wa Ta’ala telah menikahkan Rasululloh dengan Zainab binti Jahsy Al ‘Asadiyyah bekas istri Zaid bin Hàritsah. Dengan tujuan -wallàhu ‘a`lam- supaya tidak ada keberatan bagi orang Mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya (setelah talak dan habis ‘iddahnya). Sebagaimana firman Alloh Subhaanahu Wa Ta’ala, yang artinya: “Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (mencerai-kannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mu’min untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya.” (QS: Al-Ahzab: 37)

Menasabkan silsilah keturunan bapak angkat kepada anak angkat adalah sebuah kedustaan, mencampurbaurkan nasab (silsilah keturunan), merubah hak-hak pewarisan yang menyebabkan memberikan warisan kepada yang tidak berhak dan menghilangkan hak waris bagi yang berhak. Menghalalkan yang haram: yaitu ber-khalwat (berkumpulnya mahram dengan yang bukan). Dan mengharamkan yang halal: yaitu menikah. Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam seseorang menasabkan keturunan kepada yang bukan sebenarnya, yang artinya: “Barangsiapa yang dengan sengaja mengakui (sebagai ayah) seorang yang bukan ayahnya sedang ia mengetahui, maka Surga haram buatnya” (HR: Al Bukhàri dan Muslim)

Ihtidhàn
Ihtidhàn adalah menjadikan seseorang yang bukan anaknya untuk dididik, diasuh dan diperlakukan dengan baik. Ihtidhan berarti membiarkan anak asuh tetap menggunakan nama aslinya, tidak menasabkannya kepada orangtua asuhnya, tidak diwarisi. Semua kebaikan yang diberikan kepada anak asuh hanya sebatas pada pengertian berbuat baik kepada sesama yang memang dianjurkan oleh syari’at Islam. Anak-anak asuh tetap menjadi orang lain. Ia bukan mahram bagi keluarga yang mengasuhnya. Hal itu berarti harus memperlakukan anak asuh sesuai dengan apa yang telah disyari’atkan Islam sewaktu berinteraksi kepada orang lain yang bukan mahram.

Solusi Jitu
Adalah rahmat Alloh Subhaanahu Wa Ta’ala yang Dia tulis dan syari’atkan bagi hamba-hambanya, yang Alloh Subhaanahu Wa Ta’ala sediakan untuk kaum Muslimin, yaitu sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, yang artinya: “Darah susuan mengharamkan seperti apa yang diharamkan oleh darah keturunan” (HR: Al Bukhàri dan Muslim)

Keluarga yang mengasuh anak orang lain memungkinkan menjadikannya mahram dengan menyusuinya sendiri. Mengenai jumlah bilangan menyusui yang menjadikan anak orang lain mahram para Ulama berbeda pendapat. Imam Màlik meriwayatkan dari ‘Ali, ‘Ibnu Mas’ùd, ‘Ibnu ‘Umar dan ‘Ibnu ‘Abbàs, tidak menentukan jumlah bilangan hanya menyusu saja dengan alasan keumuman ayat 23 dari surat An Nisà’, pendapat ini diikuti oleh Sa’id bin Al Musayyib. ‘Urwah bin Az Zubair dan Az Zuhri. Tidak terhitung mahram kecuali jika disusui kurang dari tiga kali, menurut Imam Ahmad bin Hanbal, Ishàq bin Ràwaha, ‘Abù ‘Ubaid dan ‘Abù Tsaur, diriwayatkan dari ‘A’isyah, Ummul Fadhl, Abdullàh bin Zubair, Sulaiman bin Yasàr dan Sa’id bin Jubair. Hal ini berdasarkan hadits, yang artinya: “Satu hisapan atau dua tidak menjadikannya mahram” (HR: Muslim).

Imam Asy Syàfi’i dan para pengikutnya berpendapat, tidak termasuk mahram jika disusui kurang dari lima susuan berlandaskan pada ayat yang di-naskh artinya: “Sepuluh kali susuan menjadikan mahram” Ayat ini lalu di-naskh dengan lima susuan. Dan hadits perintah Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Sahlah binti Suhayl untuk menyusui Sàlim sebanyak lima kali. Persusuan yang menjadikan mahram manakala bayi masih berumur kurang dari dua tahun menurut kesepakatan Jumhurul Ulàmà’. Lihat Tafsirul Qurànil Azhim oleh Al Hàfizh `Imàduddin Ismà`il bin Katsir, 1/303. (Al Hàfizh `Imàduddin Ismà`il bin Katsir, Tafsirul Qurànil Azhim 1/510, dan Abul Walid Muhammad bin Rusyd Al Qurthubiy, Bidàyatul Mujtahid wa Nihàyatul Muqtashid, 2/26-28)

(Sumber Rujukan: Tafsirul Qur’anil Azhim, Ibnu Katsir)





Hadits Adzan dan Iqomah Bagi Bayi Yang Baru Lahir (Hadits Lemah)

MediaMuslim.Info – Pada kesempatan kali ini, kita akan mencoba meluruskan pemahaman mengenai sebuah hadits yang amalannya sangat populer dikalangan masyarakat kita. Berikut arti dari Hadits Adzan di telinga kanan si bayi dan iqomah di telinga kirinya maka anak itu kelak tidak akan diganggu jin: “Barang siapa dianugrahi anak kemudian ia adzan di telinga kanannya dan iqomah di telinga kirinya maka anak itu kelak tidak akan diganggu jin”

Hadits ini maudhu.
Ibnu Sunni meriwayatkan dalam kitab Amalul Yaumi wal-lailati halaman 200, dan juga Ibnu Asakir II/182, dengan sanad dari Ibu Ya`la bin Ala ar-Razi, dari Marwan bin salim, dari talhah bin Ubaidillah al-Uqali, dari Husain bin Ali.

Sanad Tersebut Maudhu` sebab Yahya bin Ala dan Marwan bin Salim deikenal sebagai pemalsu Hadits. Disamping itu, dalam periwayatan hadits diatas ada semacam unsur meremehkan atau mengagampangkan masalah. Hal itu diutarakan oleh al-Haitsami dalam kitab Majma az Zawa`id IV/59, Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan dalam sanadnya terdapat Marwan bin Sulaiman al-Ghifari, yang oleh muhadditsin riwayatnya ditinggalkan atau tidak diterima.

Almanawi pensyarah kitab al-jami`ush shaghir berkata: Hadits ini dalam sanadnya terdapat Yahya bin Ali alBajali ar-Razi. Adz Dzahabi dalam kitab adh Dhuafa` wal-Matrukin berkata: “Ia pendusta dan pemalsu ” Itulah yang dinyatakan oleh Imam Ahmad.

Menurut Muhammad Nashiruddin Al-Albani, kepalsuan diatas tidak banyak diketahui ulama. Buktinya banyak ulama kondang yang mengutarakan hadits diatas tanpa menyebutkan kemaudhu`an da kedha`fannya. Hal ini terutama dilakukan oleh ulama penulis atau pembuat kitab kitab wirid atau kitab kitan fadha`il. Misalnya, Imam Nawawi mengungkapkan hadits tersebut dengan perawi Ibnu Sunni. Namun tanpa memberi isyarat atau komentar kedha`ifan dan kemaudhu`an nya.




Begitu pula dengan pensyaratan yakni Ibnu Ala. Ia pun tidak menyinggung tentang sanadnya sama sekali. Setelah itu datanglah ulama generasi berikutnya yakni Ibnu Taimiyah yang dapat dilihat dalam kitab al-Kalimuth Thayyib yang diikuti oleh muridnya Ibnu Qayyim yang diutarakan dalam kitab al Wabilush Shayyib. Namun keduanya menyinggung seraya berkata bahwa dalam sanadnya terdapat kedha`ifan.

Setelah keduanya, datanglah generasi ulama berikutnya atau bahkan semasa dengan keduanya, tetapi tidak menginggung atau bahkan diam seribu basa dalam mengontari sanad hadits tersebut.

Pada prinsipnya, sekalipun keduanya (Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim) telah terbebas dari aib mendiamkan hadits atau riwayat dha`if, namun tetap tidak bebas dari pengungkapan kedha`ifan suatu hadits. Maksudnya, apabila mengetahui kedha`ifan hadits tadi mengapa mereka masih mengutarakannya? Itu berarti hanya merupakan pernyataan kedha`ifan hadits tersebut dan bukannya menunjukan kemaudhu`an nya. Apabila tidak demikian maka sudah sepantasnya kedua imam yang agung itu tidak mengutarakan hadits tersebut diatas. Inilah yang pasti akan di pahami oleh orang orang yang meneliti dan mau menelaah kitab atau karya tulis kedua imam tadi.

Yang membuat Muhammad Nasiruddin Al-Albani khawatir ialah para ulama generasi sesudah beliau menjadi terkecoh hingga dengan lantang berkata: “Tidak apa-apa karena hadits dha`if pun dapat dipakai untuk mengamalkan fadha`ilu-a`mal (amalan amalan yang mulia). Yang terjadi kemudian bahkan hadits itu dijadikan penguat hadits dha`if lainnya dengan meremehkan syarat mutlak yang harus ada yaitu hendaknya hadits tersebut tidak terlalu dha`if derajatnya. Sebagai bukti ialah apa yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dengan sanad dha`if dari Abi Rafi` yang berkata: Aku telah melihat Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wa Sallam mengumandangkan adzan pada telinga Hasan bil Ali ketika dilahirkan oleh Fatimah binti Muhammad.

Imam Tirmidzi berkata Hadits ini shahih dan hendaknya di amalkan dengan dasar hadits tersebut. kemudian pensyarahnya yakni al-Mubar Kafuri setelah menjelaskan kedha`ifan sanad nya dengan dasar pernyataan para ulama, berkata: Apabila ditanya; bagaimana mungkin dapat diamalkan sedangkan hadits itu dha`if, maka jawabannya ialah: Memang benar hadits tersebut dha`if, akan tetapi menjadi kuat dengabn adanya riwayat lainnya yaitu hadits dari Husain bin Ali, yang di riwayatkan oleh Bau Ya`la al-Maushili dan Ibnu Suni”

Coba kita perhatikan, Bagaimana mungkin hadits menjadi kuat atau dapat dikuatkan dengan adanya hadits maudhu? Dari mana datangnya kaidah tersebut? Sungguh yang demikian itu tidak ada kamusnya dalam sejarah para muhadditsin pada masa lalu hingga hari Qiyamat nanti. Menurut Muhammad Nasiruddin Al-Albani, yang demikian ini dapat terjadi tidak lain karena tidak mengenal kemaudhu`an hadits Husain bin Ali diatas dan juga karena terkecoh oleh komentar atas termuatnya riwayat tersebut dalam karya tulis ulama terkenal atau ulama yang dianggap menjadi panutan.

Memang benar untuk menguatkan hadits Abi rafi yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi itu adalah: adanya riwayat atau hadits atau hadits Ibnu Abbas yaitu: “Sesungguhnya Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wa Sallam telah mengumandangkan adzan pada telinga Hasan bin Ali ketika lahir dan mengumandangkan iqamah pada telinga kirinya. (Hadits tersebut telah dikeluarkan oleh Baihaqi dalam kitab Syi`b Iman berbarengan dengan hadits Hasan bin Ali)

Kemudian Baihaqi berkata: “Kedua hadits tersebut dalam sanadnya terdapat kedha`ifan”. Pernyataan baihaqi tersebut telah diutarakan oleh Ibnu Qayyim dalam kitab at-Tuhfah halaman 16.

Namun tampaknya sanad hadits ini lebih baik ketimbang sanad hadits Hasan bin ali yang dapat dijadikan kesaksian atau penguat bagi hadits Rafi tadi. Bila demikian masalahnya, maka riwayat inilah sebagai penguat adanya adzan pada telinga sang bayi saat dilahirkan seperti tercantum dalam hadits Rafi riwayat Imam Tirmidzi tadi. Adapun mengenai mengumandangkan iqomah pada telinga kiri adalah riwayat gharib (asing).

Namun kita kembali lagi pada pernyataan Imam Baihaqi bahwa “Kedua hadits tersebut dalam sanadnya terdapat kedha`ifan”. Dan Bagaimana mungkin hadits menjadi kuat atau dapat dikuatkan dengan adanya hadits maudhu? yang menurut Muhammad Nasiruddin Al-Albani, yang demikian ini dapat terjadi tidak lain karena tidak mengenal kemaudhu`an hadits tersebut dan juga karena terkecoh oleh komentar atas termuatnya riwayat tersebut dalam karya tulis ulama terkenal atau ulama yang dianggap menjadi panutan. Wallahu a`lam bish showab

(Sumber Rujukan: Silsillah hadits2 dhoif dan maudhu, Hadits NO 321, Asy-Syaikh Nasiruddin Al Albani)



Selamat Datang di blog saya